Hello World...!!!

ASAL MULA SENI LIPING





ASAL MULA SENI "LIPING"

Seni Liping merupakan miniatur patung unik berupa diorama yang berbahan olahan kayu pinus dan menceritakan keseharian hidup Tradisional dari masyarakat Pedesaan di Jawa. Sebutan ‘liping’ berasal dari plesetan kata living dalam bahasa Inggris yang artinya kehidupan.

Karya tersebut pada mulanya hanya sebagai pelengkap dari kerajinan syair yang ditulis di atas kayu oleh seniman yang memulai usahanya dari jalanan, dengan menjajakan kreasinya dari pasar ke pasar dan depan kampus di daerah Yogyakarta.

Mulai Oktober 1 Oktober 2002, Bejo akhirnya memutuskan untuk benar-benar fokus di seni Liping dengan produk yang dinamainya Jopajapu. Pencarian karakter Jopajapu sendiri sebetulnya telah berawal sejak tahun 1999. Pada saat itu bentuk patung hanya seperti siluet yang timbul dan dari samping terlihat menyerupai manusia tanpa bentul laki-laki/perempuan.

Pria lulusan STM mesin yang mempelajari seni ukir secara otodidak ini menuturkan bahwa ide-ide pengembangan karyanya hanya berasal dari hal-hal di sekitarnya yang ia amati dan alami semenjak kecil hingga dewasa.

Dari usaha jalanan, Jopajapu mulai mengenal dunia pameran ketika tahun 2004 bertemu dengan Didik Jati Utomo dari Dinas Perindustrian Surakarta yang mengajaknya berpartisipasi dalam Festival Keraton Nusantara. Sejak saat itu Jopajapu makin yakin karyanya bisa mendapat tempat di masyarakat dan memanfaatkan pameran sebagai salah satu sarana promosi efektif.

Dalam 1 tahun Bejo bisa berpartisipasi dalam 3 sampai 4 pameran yang efeknya langsung terasa dengan makin banyaknya pesanan. Setahun setelah mengikuti pameran pertama, tiga orang lagi bergabung dengan Jopajapu dan membantu menyelesaikan pesanan.
Bejo mengutarakan dengan menyasar target market domestik dari semua kalangan, produknya disukai baik oleh anak kecil yang belum sekolah sampai orang dewasa yang memang berniat untuk mengoleksi hasil kreasinya.

Inovasi pun terus berjalan. Pada 2006 bentuk patung sudah mulai bisa dilihat beda antara perempuan dan laki-laki. Pahatan lebih halus, detail dan fleksibel sehingga muncul patung dengan kaki atau tangan yang melekuk dan terlihat tidak kaku. Pewarnaan menggunakan cat kain yang mampu meresap tetapi tidak merusak pori-pori kayu.
Kreasi Jopajapu hingga kini telah menghasilkan sekitar 150 desain sederhana dan 20 desain yang lebih rumit. Kualitas patung juga dibuat dalam beberapa kategori yaitu toko, pameran, dan kolektor.

Satu patung dapat dikerjakan dalam waktu kurang lebih 1 jam dan dalam 1 hari 1 orang mampu menghasilkan 15 buah patung. Jika dihutung-hitung, selama sebulan mereka bisa membuat sekitar 2.000 patung yang dikerjakan berdasarkan pesanan.

Dengan ukuran media ukir 7×7 cm dan tinggi sekitar 10 cm, produk Jopajapu memang cocok untuk pajangan maupun suvenir. Harga jual untuk produk yang sederhana yaitu Rp 50.000 dan yang mahal bisa mencapai Rp 5.000.000, sementara untuk pesanan khusus harganya tidak terbatas tergantung dari desain dan tingkat kesulitan.

Bejo menerangkan sejauh ini pasar Jopajapu baru merambah daerah Jakarta dan Yogyakarta. Di Surakarta sendiri baru masuk sekitar setengah tahun yang lalu. Sementara di Bali mulai dikenal setelah ia diundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan Asia Africa Art & Culture Festival yang berlangsung di arena Sanur Village Festival pada bulan Agustus.

Kreasi seni Liping yang dianggap istimewa oleh Bejo adalah miniatur wayang kulit dan catur. Istimewa karena kerajinan tersebut berhasil menyabet penghargaan Inacraft Award 2009 untuk catur Baratayudha. Catur dengan dua bulan pengerjaan ini laku dibeli Rp 10.000.000.

Bejo membiarkan perkembangan mengalir seperti air. Ia belum mengetahui tiga bulan ke depan desain seperti apa yang akan ia ciptakan. Yang terpenting baginya adalah tetap melakukan pencarian untuk menyempurnakan karya-karya yang telah ada.